Tuesday 9 February 2010

.mifkaisme weblog.

.mifkaisme weblog.


Menulis dan Mencintai Puisi Bersama Cecep Syamsul Hari

Posted: 08 Feb 2010 09:35 AM PST


Saya mendapat link bagus: Cecep Syamsul Hari’s Contributor Profile-Associated Content di  associatedcontent.com. Ketika saya buka, ada 100 lebih puisi dalam bahasa Inggris. Ada perasaan senang bisa membaca  dan mengenal puisi. Di sanalah saya belajar (gratis) menulis puisi, sekaligus belajar bahasa inggris :D . Bagi saya, Cecep Syamsul Hari, yang lahir di Bandung, 1 Mei 1967, adalah penulis puisi Indonesia yang produktif. Semangat dan mottonya “The life and death of a poet is intimately related to words. Words are spirit and miracles…” membuat saya iri dan bergairah untuk mencintai puisi dan berkarya. Terima kasih yang sebenar-benarnya buat Cecep Syamsul Hari, karya-karyamu memberi gagasan dan semangat bagi para pecinta sastra, khususnya puisi. Nah, bagi sobat yang juga ingin belajar menulis puisi gratis, atau sekedar menikmatinya bersama Cecep Syamsul Hari, silakan kunjungi karya-karyanya di Associated Content.

Bio: Cecep Syamsul Hari

As a poet writing in Indonesian, Cecep Syamsul Hari first came to national prominence with his 1996 collection Kenang-kenangan (Remembrance), followed in 2002 with Efrosina (Euphrosyne), reprinted in 2005. He is one of only six Indonesian poets whose poems have been included in (2008) Norton poetry anthology, Language for a New Century: Contemporary Poetry from the Middle East, Asia and Beyond. Apart from his poetry and literary essays, he has published in Indonesian in the newer genre of ficto-criticism novel (2006), Soska.

He has been a prolific translator of literary works into Indonesian, with book publications of selected works by Pablo Neruda (1996), D.J. Enright (1996), R.K. Narayan (2002). He also translated Summarized Sahih Al-Bukhari (first edition 2007, reprinted almost every years since then), 100 Hungarian poems (2009), etc. He was Writer-in-Residence in Korea Literature Translation Institute (KLTI), South Korea (2006), Rimbun Dahan Arts Residency, Malaysia (2007), Hungarian Translators House, Hungary (2009), Bundanon Trust Artists Center, Australia (2009).

Published Content:

REQUIEM for an EMBRACE
In the glorious of memories the lovers are cursed to forget, the poets are fated to commemorate…

ALASTU BIRABBIKUM
Van Gogh called you true love who for eternity I immortalize in the sorrow of poetry.

FOR ANGELA
No morning without the song of birds, hum of wind and ancient air, in Rimbun Dahan…

SAMSON’S POEM
May be they saw the angels back to heavens. May be they saw the demons lively wander about. May be they just cleaning their throats…

AT the ART MARKET
They grumbled about rupiahs that getting weak, police patrol and land overseas to be subjected, detained passport and a bit of ringgits left in the pocket.

CHERON
The sound of that grass cutter machine wailing weirdly, hoarse and monotone…

AT HUSIN’S STUDIO
After a hundred years of repent and forswear, in Jabal Rahmah Adam met Eve. Tears of a couple of lovers, changed grainy sands into the sea of precious stones.

MUHARAM HAS COME
They invite Attar and Khayam, Lipo and Po-Chui, Goethe and Sa’di, read the verses about dew and river, love and wine, released soul and paradise.

SECRET of the RAIN
The Angel Michael keeps a piece of his wings, clearer than the lake of dew, whiter than the river of light…

ESCORTING SARAWUT BACK HOME
He is a faithfull devotee of Buddha’s way…

WATER LILY
She worships you a glisten light, never be anxious about the dusk comes…

CHINA TOWN
In China Town I felt like at home…

IDUL ADHA’S EVE
Prayer houses recited of laudation without a loud speaker in Kuang Street…

THE TREE BOULEVARD
Vanishing the boundary between me and heavens, this ground itself is also my body…

YOU and I
Here I am, a poor interpreter…

Read More…

Permalink:

http://www.associatedcontent.com/user/730705/cecep_syamsul_hari.html

Filed under: Zero Tagged: Cecep Syamsul Hari, Puisi, Sastra

Perahu Yang Akan Segera Berangkat

Posted: 08 Feb 2010 01:08 AM PST


Di sini, berjuta orang merindukan cahaya masa depan yang menyala terang, terlihat dari kejauhan titik cahayanya seperti kerlip bintang di ujung lautan. Mereka akan bergegas berangkat dengan biduk-biduk kecil yang mengikatkan talinya pada kekuatan laju perahu besar bernama waktu, takdir, nyanyian dan impian berjuta manusia. Perahu besar yang berlabuh setiap setahun sekali, menepi selama sebulan, dan kelak menarik apapun yang menambatkan temali pada tiangnya yang kokoh. Perahu besar itu menampung seribu dewa yang menunggu anak-anaknya. Mereka menunggu, berteriak, bernyanyi, mengeluh, memberi semangat dan menangis.

Sementara waktu telah berjalan begitu cepat, menghitung sisa hari seperti ketukan detik jam yang melekat pada bom waktu, dan itu artinya setiap orang di pulau harus bergegas mempersiapkan bekal sebelum akhirnya kapal besar itu berangkat meninggalkan pulau, sebelum kelak usia rapuh dalam kesendirian yang maha sepi. Mereka akan berbondong-bondong menuju negeri cahaya, membangun rumah, menikah dan melahirkan anak-anak yang akan melanjutkan sejarah dan silsilah.

Cahaya masa depan adalah kota harapan, tempat kebahagiaan dirumuskan dengan sempurna, kenikmatan dunia yang memanjakan raga dan jiwa. Orang-orang muda di pulau ini sudah bekerja keras mencari dan mempersiapkan cinta dan harta. Mereka diburu usia dan impiannya sendiri, berlomba dengan waktu, berdesakan meraih kesempatan untuk berangkat. Di sanalah aku berdiri, dengan jiwa yang kecewa, nanar menatap lautan, gemetar di antara keriuhan seribu manusia yang berlarian seperti layaknya ingin menyelamatkan diri dari ledakan bencana dan banjir besar.

Ya, aku terlambat mengejar laju waktu. Aku terlambat menulis kitab kehidupan yang harus aku wariskan untuk pulau ini. Aku terlambat mempersiapkan diri, bekal dan kekuatan. Lihatlah, langit mendung, biduk berderak digoyang riak, dan bayangan seorang perempuan yang bermata sendu tengah asyik menganyam hati dan usia diatasnya; nyanyiannya lamat, bayangannya bergoyang seperti asap, dan akhirnya hilang ditelan udara. Aku menerima isyarat itu dalam rinai hujan yang mulai turun. Berulangkali aku membaca pesannya dalam garis cuaca dan bintang. Pesan tentang cinta dan cahaya. Tapi gelisahku buncah, resahku rekah dalam arus darah di urat nadi tubuhku yang lemah dan lelah.

Betapa ingin aku memahami ombak dengan biduk kecil bersamanya, dialah perempuan yang berwajah lembut dan bersuara merdu ketika menerjemahkan puisi dan kehidupan. Betapa ingin aku menyentuh cahaya masa depan dengannya, dialah perempuan yang punya jemari yang halus ketika menulis suara malam dan isi hatinya. Bayangannya berkali-kali hadir, meliuk melahirkan suara yang manja pada ruang jiwaku. Tapi apakah hidup dan cita-cita bisa diselesaikan hanya dengan sebaris impian? Rasa takut seperti bahasa maut di urat leher sang pengecut. Aku berselisih dengan bayanganku sendiri. Harapan dan kenyataan saling bersahutan, menghibur sekaligus mencemoohku, membangkitkan dan menindihku.

Perempuan itu menyulam waktu dan rindu di ketinggian langit biru, betapa jauh kugapai dan kuterjemahkan dengan bahasaku. Perempuan dalam bayangan, wajah yang rekah dalam kata dan pinta. Ia bergumam pelan dalam khayalan. Hari-harinya akan terbuang dan melelahkan jika ia menunggu dan menemaniku di sini. Ia punya hak untuk berangkat lebih awal. Bagiku, ia perempuan yang cukup sempurna, sungguh disesali jika ia menungguku dan melepas kuncup-kuncup usia dan sisa waktu kebahagiaannya dalam dunia yang singkat ini. Sungguh disesali jika harapannya yang indah aku hambat dengan diri yang lemah, mudah lelah dan banyak salah ini. Ah, aku menyayanginya, itulah sebabnya aku akan merelakan ia berangkat kali ini, menuju tanah kebahagiaan. Kebahagiiaannya adalah kebahagiaanku.

Genta senja tiba-tiba berdentang, bunyi riak laut pada jangkar perahu yang diangkat memecah sunyi pada ruang jiwaku. Gema lengkingan terompet dari tiang utama perahu menggetarkan bibir pantai. Perahu akan segera berangkat, dan aku benar-benar sudah terlambat. Dadaku bergemuruh, selaksa riuh. Aku terpejam dalam diam, memilah jiwa dari rasa kecewa, menguatkan hati, bahwa kehidupan akan mengajarkan manusia untuk siap menerima kehilangan sesuatu yang sangat ia cintai. Pada letihku tetap tumbuh sang kekasih. Aku tersenyum menerjemahkan bayangan wajahnya pada warna langit. Aroma kenangan mulai tercium pada harum hujan. Aku merangkum senyumnya yang ranum pada doa-doa dan warna cuaca.

"Ya, perahu akan segera berangkat, perempuanku. Usia dan kata-kata telah menggeliat sangat cepat. Kau dan hidupmu tak punya waktu yang banyak untuk menungguku, akan butuh bertahun-tahun untuk menungguku. Cinta adalah harta yang sangat berharga dalam hidup manusia, maka aku mencintaimu, kekasihku. Betapa besar harapan untuk berangkat bersamamu. Tapi pergilah, jangan pedulikan aku, berangkatlah menuju cahaya masa depan dan kebahagiaan, tanpa aku…Telah lama sebilah belati berulangkali aku tancapkan di pusat hati dan ingatanku, dan seperti yang kau tahu, aku tak kunjung mati, aku tak bisa henti mencintaimu…."

EFM/ Cimahi, Februari 2010

Filed under: Ω Cerita Pendek Tagged: Cerita Pendek, Perahu Yang Akan Segera Berangkat

No comments: